Bandung, Jawa Barat - Jumat, 8 Agustus 2025 — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyoroti rendahnya gaji guru dan dosen di Indonesia, yang dinilainya mencerminkan kurangnya penghargaan terhadap profesi pendidik. Dalam Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri (KSTI 2025) di Institut Teknologi Bandung (ITB), Sri Mulyani mempertanyakan apakah pembiayaan gaji guru dan dosen harus sepenuhnya berasal dari anggaran negara atau memungkinkan adanya partisipasi dari masyarakat.
“Apakah semuanya harus APBN? Kalau gajinya tidak bisa kompetitif, apakah masyarakat tidak bisa berpartisipasi?” ujar Sri Mulyani.
Pernyataan ini memicu reaksi beragam, khususnya di media sosial. Banyak warganet menilai usulan tersebut tidak tepat, terlebih mengingat pengabdian guru dan dosen dalam membentuk generasi bangsa.
Sejumlah komentar menyindir kebijakan anggaran negara yang dinilai tidak adil, seperti pengadaan mobil dinas atau tunjangan pejabat yang tetap dibiayai APBN. Beberapa warganet menyatakan, “Kalau gaji guru disuruh gotong royong, bagaimana dengan fasilitas pejabat?”
Fakta Gaji Guru dan Dosen di Indonesia
Gaji guru dan dosen di Indonesia memang masih jauh dari ideal. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, sebagian besar guru honorer dan dosen non-PNS menerima upah di bawah standar layak, bahkan tidak sedikit yang di bawah UMK daerah.
Sri Mulyani menyadari tantangan tersebut, namun menekankan bahwa beban APBN saat ini sangat besar, sehingga diperlukan pendekatan kolaboratif untuk meningkatkan kesejahteraan pendidik.
Perlukah Masyarakat Turut Membayar Gaji Guru?
Pernyataan Sri Mulyani soal kemungkinan partisipasi masyarakat dalam pembiayaan gaji guru dan dosen menjadi perdebatan publik. Di satu sisi, hal ini mencerminkan beban berat APBN. Di sisi lain, publik mempertanyakan prioritas anggaran negara dan meminta pemerintah untuk lebih serius menghargai peran penting pendidik dalam membangun SDM unggul.
Artikel ini telah tayang di
Mediamassa.co.id
Social Header