Breaking News

Kalcer Outfit dan Estetika Media Sosial: Apakah Kita Masih Berpakaian untuk Diri Sendiri?

Ketika gaya berpakaian berubah dari cermin kepribadian menjadi panggung algoritma. (Ilustrasi Tren Kalcer (Foto: by.pinterest.com/google.com/canva.com/editserly)
Surabaya, Jawa Timur - Jumat, 24 Oktober 2025 - Media sosial telah mengubah banyak aspek dalam kehidupan kita, mulai dari cara berbicara, makan, hingga berpakaian. Dalam beberapa tahun terakhir, istilah kalcer outfit muncul dan menjadi bagian dari bahasa gaul di dunia maya. “Kalcer” merupakan singkatan dari culture, yang merujuk pada gaya berpakaian populer dan berkaitan dengan identitas tertentu seperti atasan oversize dan celana jeans longgar.

Meski tampak kreatif dan bebas, muncul pertanyaan penting: apakah kita benar-benar memilih pakaian untuk mengekspresikan diri, atau sekadar agar terlihat menarik di layar?

Media Sosial dan Pembentukan Gaya

Fenomena kalcer outfit menunjukkan bagaimana media sosial, terutama TikTok dan Instagram, sangat memengaruhi selera berpakaian anak muda. Setiap tren baru mulai dari gaya “bumi”, “kue”, hingga “mamba look” dapat menyebar dengan cepat dan diikuti oleh banyak orang.

Gaya yang dahulu lahir dari budaya jalanan atau komunitas kini dikurasi, diatur ulang, dan diunggah dengan caption menarik. Fashion tidak lagi berkembang secara alami, melainkan dirancang agar tampak menarik dalam foto atau video. Di ruang digital ini, berpakaian tidak hanya berfungsi sebagai ekspresi diri, tetapi juga sebagai tampilan sosial yang diukur melalui jumlah likes, views, dan followers.

Dengan demikian, makna pakaian bergeser dari simbol identitas individu menjadi komoditas visual yang tunduk pada standar estetika algoritma.

Algoritma dan Cermin Budaya Digital

Media sosial bekerja layaknya cermin besar yang tidak hanya memantulkan, tetapi juga membentuk cara orang memandang diri mereka sendiri. Hal yang dianggap menarik, keren, atau estetik ditentukan oleh algoritma yang mempromosikan konten paling interaktif.

Akibatnya, gaya berpakaian yang muncul di beranda pengguna bukan sekadar hasil kreativitas, melainkan hasil seleksi algoritmik yang menentukan apa yang layak dilihat. Dalam konteks ini, pilihan berpakaian semakin dikendalikan oleh kekuatan tak terlihat yang mengatur cara kita melihat dan dilihat.

Tekanan Sosial dan Homogenitas Gaya

Fenomena kalcer outfit juga tidak lepas dari logika budaya pop yang mendorong homogenitas. Gaya yang dianggap aesthetic di dunia maya menjadi tolak ukur apakah seseorang terlihat modis atau tidak.

Hal ini menciptakan tekanan sosial halus agar individu menyesuaikan diri dengan selera umum yang dibentuk oleh tren media sosial. Akibatnya, pilihan berpakaian tidak lagi didasarkan pada kenyamanan pribadi atau nilai budaya, melainkan pada keinginan untuk tampil sesuai tren populer.

Fashion kini berfungsi sebagai bentuk konsumsi simbolik — di mana nilai suatu pakaian lebih ditentukan oleh tampilannya di layar daripada makna sosial atau budaya yang melekat di dalamnya.

Antara Ekspresi dan Branding Sosial

Di satu sisi, fenomena kalcer outfit memberikan ruang bagi individu untuk berekspresi dan mengeksplorasi identitas diri. Namun di sisi lain, hal ini juga membuat banyak anak muda terjebak dalam siklus branding sosial yang tak ada habisnya.

Banyak yang merasa perlu terus upgrade gaya berpakaian agar tetap relevan di dunia digital. Outfit of the Day (OOTD) menjadi bentuk konsumsi berulang — di mana pakaian dibeli bukan karena kebutuhan, melainkan dorongan untuk terlihat segar di layar.

Akibatnya, muncul budaya konsumtif yang berdampak pada keuangan pribadi dan lingkungan, karena meningkatnya limbah tekstil dari industri fast fashion.

Ruang Kreativitas dan Kesadaran Baru

Meski demikian, kalcer outfit juga membawa dampak positif. Media sosial membuka peluang bagi banyak orang untuk mengekspresikan identitas dan kreativitas mereka. Desainer muda serta pelaku industri fashion lokal kini memiliki ruang untuk memperkenalkan karya ke publik.

Fashion pun tidak lagi menjadi milik kalangan elite, melainkan ruang terbuka bagi siapa pun untuk terlibat. Selain itu, tren ini mendorong munculnya kesadaran terhadap sustainable fashion, di mana banyak anak muda mulai memilih pakaian daur ulang (thrifting) dan produk lokal sebagai bentuk perlawanan terhadap konsumsi berlebihan.

Refleksi: Fashion, Algoritma, dan Keaslian Diri

Namun di balik semua itu, penting bagi kita untuk memiliki kesadaran kritis terhadap cara memaknai dan mengonsumsi fashion di era media sosial. Jika pakaian hanya dijadikan alat pencitraan, kita berisiko kehilangan kemampuan untuk mengekspresikan diri secara autentik.

Pertanyaannya: apakah kita berpakaian untuk mencerminkan diri sendiri, atau menyesuaikan diri dengan narasi visual yang dibentuk oleh algoritma dan opini publik?

Fenomena kalcer outfit dan estetika media sosial mencerminkan dinamika kompleks antara identitas, budaya populer, dan teknologi. Di satu sisi, ia membuka ruang bagi kebebasan berekspresi dan kreativitas tanpa batas; di sisi lain, menimbulkan tekanan sosial yang memperkuat perilaku konsumtif dan keseragaman visual.

Tantangan bagi generasi muda masa kini adalah menemukan keseimbangan antara mengikuti tren dan menjaga keaslian diri.

Seperti kata Coco Chanel, “Fashion fades, only style remains the same.”
Pada akhirnya, gaya sejati bukan tentang tampil sempurna di layar, melainkan keberanian untuk menjadi autentik di dunia nyata sebuah bentuk ekspresi yang tidak ditentukan oleh algoritma, melainkan oleh kejujuran diri sendiri.

Nama: Inggrid Dwi Angly
NBI: 1152300282
Mata Kuliah: Creative Writing (R)
Dosen Pengampu: Hajidah Fildzahun Nadhilah Kusnadi, S.Sos., M.A.

Disclaimer: Artikel ini merupakan kiriman opini dari pembaca. Isi sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Mediamassa.co.id.
Redaksi berhak menyunting tulisan ini untuk penyesuaian ejaan dan tata bahasa tanpa mengubah substansi.

Artikel ini telah tayang di 
Mediamassa.co.id

0 Komentar

© Copyright 2025 - mediamassa.co.id
🔮 Zodiak Mingguan (20–26 Oktober 2025)
Memuat ramalan zodiak...