| Film Animasi “Merah Putih: One for All” Tuai Kontroversi, Publik Pertanyakan Kualitas dan Transparansi Produksi. (Foto: YouTube) |
Surabaya, Jawa Timur - Jumat, 24 Oktober 2025 - Film animasi bertajuk Merah Putih: One for All garapan sutradara Endiarto dan Bintang Takari menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat sejak perilisan trailernya. Publik menyoroti berbagai aspek mulai dari kualitas animasi, tata bahasa, musik, hingga konsep cerita yang dinilai tidak sebanding dengan klaim biaya produksi sebesar Rp6,7 miliar.
Film ini diklaim sebagai “hadiah ulang tahun ke-80 Republik Indonesia” oleh sang sutradara. Namun, sejumlah penonton merasa kecewa karena hasil akhir film dinilai jauh dari ekspektasi. Dalam satu minggu penayangan di bioskop, film ini tercatat hanya menarik sekitar 2.341 penonton.
Kritik dari Masyarakat dan Komunitas Film
Banyak warganet membandingkan Merah Putih: One for All dengan film animasi lain seperti Jumbo, Demon Slayer, dan One Piece, yang dinilai memiliki kualitas jauh lebih baik meskipun biaya produksinya lebih rendah.
Beberapa komentar di media sosial mencerminkan kekecewaan publik:
“Kalau ini film buatan anak umur 10 tahun dan dibuat sendiri untuk konten YouTube, saya bakal apresiasi,” tulis akun @Gak*** di YouTube.
“Sudah capek-capek Jumbo menaikkan kualitas animasi Indonesia, malah turun lagi gara-gara film ini,” komentar @fjr*****.
Selain kualitas visual dan audio, publik juga menyoroti ketidakjelasan asal studio Perfiki Kreasindo, yang disebut sebagai rumah produksi film tersebut. Muncul dugaan bahwa pengerjaan film dilakukan dalam waktu yang terlalu singkat.
Respons Sutradara dan Pihak Produksi
Menanggapi kritik tersebut, pihak produser eksekutif membantah isu produksi kilat dan menegaskan bahwa proyek ini telah digagas sejak tahun 2024.
Sementara itu, Endiarto selaku sutradara mengatakan bahwa film ini dibuat untuk menggambarkan semangat perjuangan bangsa Indonesia melalui medium animasi.
“Kami sadar masih banyak kekurangan, tapi tujuan utama film ini adalah mempersembahkan karya untuk Indonesia,” ujarnya.
Sorotan DPR dan Kalangan Perfilman
Kontroversi ini turut mendapat perhatian dari kalangan DPR RI. Anggota Komisi X DPR, Lalu Hadrian Irfani, menilai perlu ada peningkatan kualitas dan transparansi dalam industri animasi nasional agar dapat bersaing di tingkat global.
Sutradara senior Hanung Bramantyo juga mempertanyakan alasan film tersebut bisa mendapatkan slot tayang di bioskop, mengingat banyak film Indonesia lain yang masih menunggu giliran.
Isu Dukungan Pemerintah
Publik menduga film ini mendapat bantuan dana pemerintah, namun perwakilan pemerintah menegaskan tidak ada bantuan finansial dalam produksi Merah Putih: One for All. Dukungan yang diberikan hanya berupa masukan dan konsultasi kreatif.
Perbandingan dengan Produksi Lain
Sejumlah pengamat animasi menilai bahwa untuk menghasilkan animasi berkualitas tinggi, proses produksi biasanya membutuhkan waktu bertahun-tahun. Dalam kasus Merah Putih: One for All, banyak pihak menilai durasi pengerjaan yang terlalu cepat berdampak pada hasil akhir yang kurang maksimal.
Bahkan, beredar kabar bahwa beberapa aset animasi dibeli dari pihak luar negeri, yang menimbulkan pertanyaan publik mengenai efektivitas penggunaan anggaran produksi.
Meski mendapat banyak kritik, Merah Putih: One for All tetap dianggap sebagai langkah awal dalam pengembangan film animasi Indonesia. Banyak pihak berharap pengalaman ini menjadi pelajaran penting bagi industri kreatif Tanah Air agar lebih matang dalam perencanaan, produksi, dan pengelolaan anggaran.
Penulis: Ferdiansyah surya Darmawan
Disclaimer:
Tulisan ini merupakan artikel opini pribadi penulis. Isi dan pandangan dalam tulisan tidak mewakili sikap resmi redaksi.
Artikel ini telah tayang di
Mediamassa.co.id
0 Komentar