Breaking News

Membongkar Patriarki di Layar Kaca: Perspektif Wanita yang Dilupakan

Membongkar Patriarki di Layar Kaca: Perspektif Wanita yang Dilupakan. (Dok.ist)
Surabaya, Jawa Timur - Selasa, 4 November 2025 - Di era digital saat ini, media sosial dan televisi sering kali menjadi cermin masyarakat di sekitar kita. Namun, apa yang terlihat di layar kaca sering kali tidak adil. Perempuan masih sering digambarkan sebagai objek cantik yang pasif, sementara laki-laki diposisikan sebagai pahlawan kuat dan dominan. Ini bukan sekadar stereotipe, melainkan manifestasi budaya patriarki yang mengakar dan membuat kesetaraan gender terasa seperti mimpi yang jauh.

Menggunakan kerangka teori Feminisme Standpoint Theory (FST) yang menekankan bahwa pengetahuan dari perspektif perempuan terpinggirkan lebih valid karena mampu mengungkapkan bias sistemik mari kita telaah bagaimana media memperkuat ketimpangan ini. FST, yang dikembangkan oleh filsuf seperti Sandra Harding dan Dorothy Smith, mengajak kita melihat dunia dari sudut pandang perempuan yang sering diabaikan, bukan dari lensa patriarki yang dominan.

Dalam banyak film, terutama film blockbuster Hollywood, perempuan sering kali digambarkan sebagai “damsel in distress” yang menunggu laki-laki menyelamatkan. Dalam iklan televisi, produk kecantikan hampir selalu dikaitkan dengan perempuan yang harus tampil sempurna demi menarik perhatian pria. Ini tentu bukan kebetulan.

Dalam buku Komunikasi dan Gender karya Merry Fridha Tripalupi (2020), dijelaskan bahwa media massa kerap memproduksi bias gender melalui representasi yang timpang. Tripalupi menunjukkan bahwa dalam industri hiburan Indonesia, perempuan jarang mendapat peran utama yang kuat. Ketika mereka muncul, sering kali hanya sebagai ibu rumah tangga atau objek seksual. Hal ini menciptakan norma bahwa perempuan harus pasif, sementara laki-laki aktif sebuah bias yang merusak kesetaraan gender.

Dari perspektif FST, pengetahuan yang berharga justru muncul dari pengalaman perempuan dalam kehidupan sehari-hari yang kerap terpinggirkan. Perempuan di balik layar, seperti sutradara atau penulis skenario, juga menghadapi diskriminasi yang membuat suara mereka teredam. Misalnya, di Hollywood hanya 4% sutradara film adalah perempuan (data dari USC Annenberg Inclusion Initiative, 2023). Ini bukan sekadar angka, melainkan bukti nyata bagaimana patriarki membatasi akses perempuan pada posisi berkuasa. Akibatnya, cerita yang kita konsumsi tetap didominasi oleh pandangan maskulin.

FST mengingatkan bahwa untuk mengubah keadaan ini, kita harus mulai mendengarkan suara perempuan — mereka yang bekerja di industri media, jurnalis perempuan, dan aktivis digital.

Contohnya, serial Netflix seperti Bridgerton memang mendapat pujian karena menampilkan perempuan yang kuat. Namun, dari sudut pandang FST, kritik muncul karena narasi utamanya masih berpusat pada romansa heteronormatif yang menempatkan perempuan sebagai objek cinta. Dalam jurnal Feminist Media Studies (Vol. 22, No. 3, 2022), Laura Mulvey dan rekan-rekannya menegaskan bahwa media visual seperti ini memperkuat citra perempuan sebagai objek pandangan laki-laki (male gaze). Ini bukan sekadar hiburan, melainkan bagian dari sistem yang memperkokoh budaya patriarki membuat perempuan merasa harus memenuhi standar kecantikan yang tidak realistis, sebagaimana sering terlihat di media sosial.

Di Indonesia, situasinya tidak jauh berbeda. Acara reality show seperti Indonesian Idol atau The Voice Indonesia sering kali menyoroti peserta perempuan berdasarkan penampilan fisik, bukan talenta. Tripalupi (2020) menekankan bahwa hal ini menciptakan bias gender di masyarakat, di mana perempuan diharapkan tampil “menarik” agar sukses.

Dari sudut pandang FST, pengalaman perempuan di industri hiburan menunjukkan bahwa mereka sering menghadapi ekspektasi ganda: harus cantik, tapi juga kompeten. Jika tidak, mereka kerap dicap “terlalu agresif” atau “tidak feminin”.

Jurnal Komunikasi (Vol. 14, No. 2, 2021) karya Sari Mulia dan tim meneliti representasi gender di media sosial Indonesia. Mereka menemukan bahwa influencer perempuan sering dipaksa mempromosikan produk kecantikan, memperkuat stereotipe bahwa nilai perempuan terletak pada penampilan. Dari standpoint perempuan, ini bukan pilihan bebas — melainkan tekanan sistemik yang menghambat kesetaraan.

Perempuan yang menolak norma ini, seperti aktivis feminis di TikTok, sering mendapat backlash dan dilabeli “feminazi” atau “terlalu sensitif”. Ini menunjukkan bagaimana patriarki berupaya membungkam suara-suara alternatif.

Jurnal internasional Gender & Society (Vol. 35, No. 4, 2021) oleh Patricia Hill Collins dan rekan memperluas FST dengan menunjukkan bagaimana ras dan gender saling berpotongan. Dalam media global, perempuan kulit hitam atau dari kelas bawah sering direpresentasikan sebagai “eksotis” atau “miskin”, yang memperkuat ketimpangan sosial.

Di Indonesia, bias serupa terlihat dalam pemberitaan tentang pekerja migran perempuan, yang sering digambarkan hanya sebagai korban tanpa agensi — bukan individu kuat yang berdaya. Padahal, dari perspektif FST, para pekerja migran ini justru memiliki pengetahuan dan pengalaman tentang ketahanan serta solidaritas perempuan yang berharga untuk mengubah narasi media.

Lalu, apa solusinya? FST bukan hanya alat kritik, tetapi juga panggilan untuk bertindak. Kita perlu lebih banyak suara perempuan di balik kamera, di ruang redaksi, dan di meja pengambilan keputusan. Di Indonesia, gerakan seperti #KitaBisa menginspirasi perempuan untuk berbicara tentang bias gender di media sosial. Dengan mendengarkan perspektif mereka, kita dapat menciptakan konten yang lebih inklusif — film dengan tokoh utama perempuan yang kompleks, berita yang seimbang, dan iklan yang tidak mengobjektifikasi tubuh perempuan.

Namun, perubahan ini tentu tidak mudah. Patriarki masih kuat, dan media sering kali menjadi alatnya. Seperti yang ditegaskan Tripalupi (2020), komunikasi yang adil antara gender membutuhkan kesadaran kolektif. Dari standpoint perempuan, kita memahami bahwa kesetaraan bukan tentang membuat laki-laki kalah, melainkan tentang memberi ruang bagi semua suara. Jika terus diabaikan, generasi mendatang akan tumbuh dalam norma yang sama timpangnya.

Jadi, mari mulai dari diri sendiri: tonton film dengan perspektif kritis, dukung konten yang dibuat oleh perempuan, dan tantang stereotipe di sekitar kita. Dengan FST sebagai panduan, kita bisa membongkar patriarki satu frame demi satu frame.

Karena, seperti pepatah berkata, mata perempuan melihat lebih dalam dan sudah saatnya kita mendengarkan.

Penulis: Ashifa Dhea Andriani
(Mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, Prodi Ilmu Komunikasi)

Disclaimer:
Tulisan ini bersifat opini dan analisis akademis. Isi artikel sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan redaksi atau institusi mana pun. Artikel ini bertujuan memberikan wawasan kritis tentang isu representasi gender di media tanpa bermaksud menyinggung pihak tertentu.

Artikel ini telah tayang di 
Mediamassa.co.id
© Copyright 2022 - mediamassa.co.id
🔮 Zodiak Mingguan (1–7 Desember 2025) ×
Memuat ramalan zodiak...
🔮 Lihat Zodiak