Surabaya, Jawa Timur - Kamis, 30 Oktober 2025 - Di era digital seperti sekarang, kebenaran sering kali lahir bukan dari data, tetapi dari jumlah like dan share. Apa pun yang paling sering muncul di linimasa kerap dianggap sebagai fakta. Ruang publik yang dahulu menjadi wadah dialog dan pertukaran gagasan kini bertransformasi menjadi arena cepat dan bising, tempat opini tanpa dasar berseliweran setiap detik.
Media sosial yang awalnya diharapkan menjadi sarana demokrasi digital justru sering berubah menjadi ladang disinformasi. Akibatnya, persepsi publik terhadap suatu isu kini lebih mudah dibentuk oleh narasi yang viral daripada oleh proses verifikasi dan penalaran kritis.
Opini Publik dalam Genggaman Jempol
Dulu, opini publik terbentuk melalui media massa yang menjalankan fungsi verifikasi dan editorial. Kini, setiap orang bisa menjadi media sendiri. Dengan satu klik, siapa pun mampu menyebarkan pendapat, berita, bahkan kebohongan.
Kebebasan ini memang membuka ruang partisipasi luas, tetapi juga menimbulkan risiko baru: kebenaran menjadi relatif—bergantung pada seberapa banyak orang yang mempercayai dan membagikannya.
Ketika Emosi Mengalahkan Fakta
Fenomena ini tampak jelas setiap kali muncul isu sosial atau politik. Masyarakat sering kali bereaksi spontan terhadap potongan video atau unggahan yang viral, tanpa memeriksa konteks atau sumbernya. Informasi yang belum terverifikasi sering lebih dulu menyebar ketimbang klarifikasi dari pihak berwenang atau media kredibel.
Akibatnya, opini publik terbentuk bukan berdasarkan data, melainkan dari emosi yang dipicu oleh narasi yang sengaja dikonstruksi untuk menarik simpati. Di sini, like dan share bukan lagi indikator kebenaran, melainkan hasil dari strategi algoritma, buzzer, atau bot yang mahir mengelola emosi massa.
Literasi Digital Jadi Kunci
Teknologi sebenarnya bukan penyebab utama kekacauan informasi. Media sosial hanyalah alat; yang berbahaya adalah cara manusia menggunakannya.
Rendahnya literasi digital membuat banyak pengguna tidak terbiasa memeriksa sumber berita, memverifikasi data, atau berpikir kritis sebelum membagikan sesuatu. Dorongan untuk selalu update dan takut tertinggal tren (FOMO) membuat tombol share lebih cepat ditekan daripada kemampuan berpikir reflektif dijalankan.
Menjaga Kewarasan di Dunia Digital
Di tengah derasnya arus informasi, kebenaran sering kalah populer dibanding sensasi. Namun, jika masyarakat berhenti berpikir kritis, dunia maya hanya akan menjadi ruang kosong—tempat di mana kebenaran ditentukan oleh siapa yang paling keras bicara, bukan siapa yang paling benar.
Oleh karena itu, kemampuan memilah informasi, membaca dengan skeptis, dan memverifikasi sumber menjadi bentuk perlawanan paling nyata terhadap banjir disinformasi.
Penulis: Asa Avrilia Fernanda
Disclaimer
Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis. Pandangan dalam artikel ini tidak mencerminkan sikap atau kebijakan redaksi.
Artikel ini telah tayang di
Mediamassa.co.id
Social Header