| Olahraga Padel : Sebuah Aktivitas Yang Menyehatkan Atau Hanya Sebuah Tren Untuk Menunjang Status Sosial?. (Foto: Gemini/AI) |
Padel dan Fenomena Kebangkitan Olahraga Baru di Indonesia
Padel merupakan olahraga raket yang berasal dari Meksiko pada tahun 1960-an dan kemudian berkembang pesat di Spanyol. Bentuknya mirip dengan tenis, namun dimainkan di lapangan yang lebih kecil dengan dinding kaca di sekelilingnya yang memungkinkan bola memantul. Permainan ini biasanya dilakukan berpasangan (double), sehingga bersifat sosial dan kompetitif dalam waktu yang sama.
Dalam beberapa tahun terakhir, olahraga ini mulai booming di Indonesia. Menurut data dari Pengurus Besar Padel Indonesia (PBPI), hingga akhir tahun 2023 sudah terdapat lebih dari 130 lapangan padel yang tersebar di Indonesia, terutama di wilayah Jakarta, Tangerang, Bali, dan Bandung. Beberapa klub elit seperti Senayan, Pantai Indah Kapuk (PIK), hingga Bali Padel Club menjadi pusat perhatian kalangan menengah atas yang ingin mencoba olahraga ini.
Bahkan, sejumlah figur publik seperti artis, influencer, dan pebisnis mulai mempromosikan padel di media sosial mereka. Konten-konten bertema “first time playing padel”, “weekend padel vibes”, atau “padel outfit of the day” bermunculan dan viral di TikTok. Fenomena ini menunjukkan bagaimana padel tidak hanya berkembang sebagai olahraga, tetapi juga menjadi bagian dari gaya hidup urban modern.
Namun, di sinilah letak perdebatan muncul. Apakah meningkatnya popularitas padel di Indonesia benar-benar didorong oleh kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan, atau justru karena keinginan untuk tampil “trendy” dan mengikuti arus sosial media?
Padel Sebagai Aktivitas Fisik yang Menyehatkan
Secara ilmiah, padel memang tergolong olahraga yang menyehatkan. Berdasarkan penelitian dari Journal of Human Kinetics (2023), bermain padel selama 60 menit mampu membakar sekitar 500–700 kalori, tergantung pada intensitas permainan. Gerakan lari cepat, reaksi pantulan bola, serta koordinasi tangan dan kaki membuat olahraga ini efektif untuk melatih daya tahan jantung, kecepatan, dan kelincahan tubuh.
Selain itu, karena padel dimainkan secara ganda, olahraga ini juga memupuk kemampuan sosial, kerja sama, dan komunikasi antar pemain. Menurut psikolog olahraga dari Universitas Gadjah Mada, dr. Pradipta Nugraha, M.Psi., olahraga sosial seperti padel dapat membantu menurunkan stres dan meningkatkan hormon endorfin lebih efektif dibandingkan olahraga yang dilakukan sendiri. Hal ini karena interaksi sosial menimbulkan rasa senang, keterhubungan, dan dukungan emosional antar pemain.
Dari segi kesehatan mental, padel dapat menjadi pelarian positif dari tekanan kerja atau kuliah. Banyak pemain yang mengaku merasa lebih bahagia setelah bermain, bukan hanya karena olahraganya, tetapi juga karena atmosfernya yang santai dan menyenangkan. Berbeda dengan olahraga kompetitif seperti futsal atau basket yang cenderung serius, padel memiliki nuansa rekreasi yang lebih ringan, sehingga cocok bagi masyarakat urban yang ingin tetap aktif tanpa tekanan kompetisi tinggi.
Dengan kata lain, jika dijalani dengan tujuan menjaga kebugaran dan keseimbangan mental, padel memang bisa menjadi aktivitas yang benar-benar menyehatkan.
Namun, Tidak Sedikit yang Bermain Karena Tren dan Status Sosial !!
Meskipun banyak manfaatnya, tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar popularitas padel di Indonesia saat ini juga ditopang oleh faktor sosial. Fenomena ini erat kaitannya dengan konsep “sport as a lifestyle”, di mana olahraga menjadi bagian dari citra diri seseorang.
Menurut hasil riset dari Proxima Research Indonesia (2024), sekitar 65% pemain padel di Jabodetabek mengaku tertarik mencoba olahraga ini karena pengaruh media sosial, bukan karena faktor kesehatan. Sebanyak 48% di antaranya juga mengaitkan padel dengan citra eksklusif dan gaya hidup kelas atas. Artinya, olahraga ini sudah memiliki konotasi status sosial tertentu, mirip dengan tren golf atau tenis pada dekade sebelumnya.
Selain itu, biaya bermain padel juga cukup tinggi. Sewa lapangan di beberapa klub elit di Jakarta bisa mencapai Rp500.000–Rp800.000 per jam, belum termasuk biaya sewa raket, bola, dan sepatu khusus. Bagi kalangan mahasiswa atau pekerja dengan pendapatan menengah ke bawah, angka ini tentu tidak kecil. Maka tidak mengherankan jika padel lebih mudah diakses oleh kelompok ekonomi menengah ke atas yang mencari aktivitas sosial bergengsi.
Tren ini juga didukung oleh influencer dan selebriti yang sering kali menampilkan aktivitas padel sebagai bagian dari gaya hidup mereka. Akibatnya, banyak masyarakat muda yang ikut bermain bukan karena minat olahraga, melainkan karena ingin terlihat “in” dan tidak ketinggalan zaman. Dari sinilah efek FOMO bekerja akibat dorongan psikologis yang membuat seseorang takut tertinggal dari apa yang sedang viral atau nge-tren di lingkungannya.
Sama halnya seperti tren lari maraton, gowes, atau yoga beberapa tahun lalu, padel kini menjadi simbol gaya hidup baru yang dipamerkan melalui media sosial. Sayangnya, jika motivasi utama adalah pencitraan, maka nilai kesehatan dari olahraga itu sendiri menjadi bukan pilihan utama, bahkan bisa hilang sama sekali.
Dualitas Antara Kesehatan dan Gengsi
Padel mencerminkan dua sisi dunia olahraga modern: antara kebutuhan fisik dan kebutuhan sosial. Di satu sisi, padel menawarkan berbagai manfaat kesehatan yang nyata. Di sisi lain, ia juga menjadi simbol status sosial baru di masyarakat urban.
Dalam konteks ini, muncul istilah “hedonic fitness”, yaitu kecenderungan seseorang melakukan olahraga bukan demi kesehatan jangka panjang, tetapi demi kesenangan sesaat, validasi sosial, atau kebutuhan estetika. Fenomena ini semakin kuat di era media sosial yang serba visual, di mana aktivitas olahraga bukan lagi sekadar olahraga, tetapi juga konten.
Misalnya, seseorang bisa saja hanya bermain padel sebulan sekali, namun sering memposting aktivitasnya di media sosial untuk mendapatkan pengakuan sosial. Padahal, dari segi kebugaran, frekuensi tersebut tidak cukup untuk memberikan manfaat kesehatan yang signifikan. Akibatnya, olahraga yang seharusnya menjadi rutinitas kesehatan justru berubah menjadi simbol prestise sosial.
Menurut psikolog sosial dr. Dewi Lestari (Universitas Indonesia), perilaku semacam ini merupakan bentuk pencarian identitas sosial yang wajar di kalangan muda, namun bisa menjadi tidak sehat apabila terus didorong oleh kebutuhan validasi eksternal. Ia menegaskan bahwa “Ketika olahraga dilakukan bukan untuk diri sendiri, tetapi untuk dinilai orang lain, manfaat psikologisnya justru berbalik menjadi tekanan sosial.”
Refleksi: Mencari Makna Sejati dari Olahraga
Sebagai mahasiswa, kita tentu akrab dengan budaya “ikut-ikutan” yang sering muncul di lingkungan kampus. Ada tren kopi, tren fashion seperti skena, hingga tren olahraga. Namun, penting untuk kita sadari bahwa esensi olahraga seharusnya tidak berhenti pada tampilan luar atau postingan media sosial. Olahraga sejati adalah tentang keseimbangan tubuh dan pikiran, disiplin diri, serta bentuk penghargaan terhadap kesehatan.
Padel sebenarnya punya potensi besar untuk menjadi olahraga yang menyehatkan sekaligus menyenangkan, terutama jika dikembangkan secara inklusif. Pemerintah, kampus, maupun komunitas olahraga bisa memanfaatkan tren ini untuk membangun minat olahraga baru di kalangan muda. Misalnya dengan menghadirkan program student padel club dengan biaya terjangkau atau penyuluhan tentang manfaat olahraga sosial terhadap kesehatan mental.
Jika diarahkan dengan baik, tren padel justru bisa menjadi gerbang positif untuk memperkenalkan gaya hidup sehat kepada masyarakat urban yang sebelumnya pasif berolahraga. Namun, jika dibiarkan menjadi simbol gaya hidup eksklusif, maka padel hanya akan menjadi “olahraga gengsi” yang memperlebar kesenjangan sosial antara mereka yang mampu dan tidak mampu mengakses fasilitasnya.
Jadi, apakah padel merupakan aktivitas yang menyehatkan atau hanya sekadar tren untuk menunjang status sosial? Jawabannya tergantung pada niat dan konsistensi pelakunya.
Padel bisa menjadi olahraga yang sangat menyehatkan apabila dilakukan dengan motivasi yang benar, yaitu menjaga kebugaran dan memperkuat relasi sosial secara sehat. Namun, jika dilakukan semata-mata untuk terlihat keren di media sosial atau demi gengsi, maka esensi olahraga itu sendiri akan hilang.
Sebagai generasi muda, kita seharusnya tidak hanya menjadi konsumen tren, tetapi juga mampu memaknai setiap aktivitas secara kritis. Tidak ada salahnya mengikuti tren padel selama kita memaknainya sebagai investasi kesehatan, bukan sekadar ajang eksistensi dan validasi. Karena pada akhirnya, status sosial bisa pudar, tetapi tubuh dan kesehatan adalah hal yang akan terus kita bawa sepanjang hidup.
Penulis : Lucky Dharmawan
Disclaimer
Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis. Pandangan dalam artikel ini tidak mencerminkan sikap atau kebijakan redaksi.
Artikel ini telah tayang di
Social Header