Mediamassa.co.id – Persidangan kasus dugaan korupsi yang menjerat mantan Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryati Rahayu atau akrab disapa Mbak Ita, kembali menguak fakta mengejutkan. Dalam kesaksiannya di Pengadilan Tipikor Semarang, Senin (30/6/2025), Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Semarang, Indriyasari, mengaku terpaksa menyetor dana hingga Rp2,2 miliar kepada Mbak Ita dan suaminya, Alwin Basri, akibat tekanan dan ancaman.
“Saya diancam akan ‘disikat’ dan diganti jika tidak patuh,” ujar Indriyasari dalam persidangan.
Ancaman tersebut datang langsung dari Alwin Basri, suami Mbak Ita, yang saat itu menjabat Ketua Tim Penggerak PKK Kota Semarang. Ia disebut memaksa Kepala Bapenda untuk terus menyetorkan dana iuran kebersamaan dari internal ASN Bapenda, dengan nada intimidatif dan tekanan jabatan.
Indriyasari menjelaskan bahwa dana Rp2,2 miliar berasal dari iuran kebersamaan pegawai Bapenda yang dikumpulkan setiap tiga bulan. Dengan total sekitar 160 pegawai, iuran tersebut bisa mencapai Rp800 juta per triwulan.
“Saya juga ikut iuran Rp10 juta dari gaji pribadi,” kata Indriyasari.
Dana tersebut semestinya digunakan untuk kegiatan sosial dan kepegawaian, namun sejak 2022–2024, dana itu justru disetorkan ke Mbak Ita dan suaminya. Menurut jaksa, Mbak Ita menerima setidaknya Rp3,8 miliar, sedangkan Alwin Basri menerima Rp1,2 miliar dari sumber yang sama.
Mbak Ita Sempat Kirim Peringatan "Ati-Ati"
Sidang juga mengungkapkan bahwa Mbak Ita sempat mengirim pesan WhatsApp berisi tautan berita kasus korupsi di Sidoarjo, seraya mengingatkan Indriyasari untuk berhati-hati. Pesan tersebut ditafsirkan sebagai bentuk kekhawatiran agar praktik serupa tidak terbongkar.
“Ati-ati Mbak, Sidoarjo wes keplak,” bunyi pesan yang dibacakan di pengadilan.
Dana Dikembalikan Saat KPK Mulai Menyelidiki
Pada awal 2025, Mbak Ita dan Alwin Basri diketahui telah mengembalikan sebagian dana kepada Bapenda setelah penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dimulai. Pengembalian tersebut termasuk Rp900 juta dan 87 lembar uang asing dengan nominal 1.000 dolar Singapura per lembar.
Meski demikian, proses hukum tetap berjalan karena pengembalian dana tidak menghapus tindak pidana korupsi yang diduga terjadi sebelumnya.
Kasus ini memicu keprihatinan publik terhadap praktik tekanan jabatan dan penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat publik serta keluarganya. Pengamat kebijakan publik menilai, praktik seperti ini membahayakan integritas ASN dan menciptakan budaya ketakutan dalam birokrasi.
Kasus dugaan korupsi iuran ASN Bapenda yang menyeret nama Mbak Ita dan suaminya menunjukkan pentingnya pengawasan dana internal instansi pemerintahan. Ancaman verbal, tekanan jabatan, dan aliran dana tak wajar menjadi indikasi bahwa budaya kekuasaan yang menyimpang masih perlu dibenahi dengan penegakan hukum yang tegas dan transparan.
(Red)
Social Header