Mediamassa.co.id - Indonesia, dengan ribuan pulaunya, ratusan suku bangsanya, beragam agama, dan bahasa daerahnya, adalah anugerah sekaligus tantangan. Kebhinekaan yang luar biasa ini merupaka kekayaan yang tak ternilai, pondasi kokoh bagi identitas bangsa. Namun, layaknya sebuah mozaik yang indah, menjaga setiap kepingannya tetap utuh dan selaras adalah pekerjaan yang tak pernah usai. Pluralisme dan kebhinekaan, dalam konteks kewarganegaraan, adalah jantung dari kebangsaan Indonesia. Mengelolanya dengan bijak bukan hanya tugas pemerintah, melainkan tanggung jawab setiap individu yang mengaku sebagai warga negara Indonesia.
Perspektif kewarganegaraan menuntut kita untuk melihat pluralisme dan kebhinekaan bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai potensi kekuatan. Seorang warga negara yang sadar akan
pluralisme adalah individu yang memahami bahwa perbedaan adalah keniscayaan, bukan hambatan. Ia menghargai keberagaman keyakinan, adat istiadat, dan latar belakang sosial tanpa
mengurangi rasa persatuan. Namun, idealisme ini seringkali berhadapan dengan realitas yang kompleks, di mana tantangan-tantangan muncul menguji ketahanan pondasi kebangsaan kita.
Salah satu tantangan paling fundamental adalah radikalisme dan ekstremisme. Kelompok- kelompok radikal seringkali memanfaatkan isu-isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan)
untuk memecah belah persatuan. Mereka menarasikan perbedaan sebagai alasan untuk membenci, memusuhi, bahkan melakukan kekerasan. Dalam perspektif kewarganegaraan, ini adalah pengkhianatan terhadap nilai-nilai dasar Pancasila dan UUD 1945. Radikalisme mengikis semangat gotong royong dan toleransi yang menjadi ciri khas bangsa. Tugas warga negara adalah membentengi diri dengan pemahaman yang benar tentang pluralisme, menolak narasi kebencian, dan berani bersuara untuk melawan segala bentuk intoleransi. Pendidikan kewarganegaraan harus
menjadi tameng utama dalam menghadapi gelombang ini, bukan hanya di bangku sekolah, tetapi juga di lingkungan keluarga dan masyarakat.
Tantangan berikutnya adalah politik identitas yang berlebihan. Dalam kontestasi politik, seringkali identitas primordial (agama, suku, atau daerah) dieksploitasi untuk meraih dukungan. Hal ini dapat menyebabkan polarisasi yang tajam di masyarakat, di mana kelompok-kelompok saling mencurigai dan berjarak. Ketika politik identitas mendominasi, isu-isu substansial tentang pembangunan dan kesejahteraan rakyat seringkali terpinggirkan. Warga negara yang cerdas harus mampu melihat melampaui sekat-sekat identitas sempit. Mereka harus memilih pemimpin berdasarkan kapabilitas dan visi, bukan hanya karena kesamaan latar belakang. Demokrasi yang
sehat mensyaratkan partisipasi yang rasional, bukan emosional yang digerakkan oleh sentimen identitas.
Ketimpangan sosial dan ekonomi juga turut memperkeruh suasana pluralisme. Ketika sebagian masyarakat merasa terpinggirkan secara ekonomi, ada potensi besar bagi mereka untuk menjadi rentan terhadap provokasi yang memanfaatkan perbedaan. Ketidakadilan dapat memicu frustrasi yang kemudian diekspresikan dalam bentuk konflik berbasis SARA. Pemerintah dan seluruh elemen masyarakat memiliki tanggung jawab untuk menciptakan keadilan sosial yang merata, memastikan bahwa setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang. Pembangunan yang inklusif, yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat tanpa memandang latar
belakang, adalah investasi penting untuk menjaga persatuan dalam kebhinekaan.
Selain itu, perkembangan teknologi informasi dan media sosial menghadirkan tantangan baru. Informasi yang cepat menyebar, baik yang benar maupun yang salah, dapat dengan mudah memicu
konflik. Hoaks dan ujaran kebencian seringkali disebarkan melalui platform digital, memperkeruh suasana dan memprovokasi sentimen negatif antar kelompok. Kemampuan untuk menyaring
informasi, berpikir kritis, dan tidak mudah terprovokasi adalah keterampilan penting bagi warga negara di era digital ini. Literasi digital dan pendidikan etika bermedia sosial harus menjadi bagian integral dari pendidikan kewarganegaraan, agar masyarakat tidak mudah termakan isu-isu yang memecah belah.
Menghadapi tantangan-tantangan ini, peran pendidikan kewarganegaraan menjadi sangat krusial. Pendidikan ini bukan hanya tentang hafalan pasal-pasal dan sejarah, melainkan tentang
pembentukan karakter yang menghargai perbedaan, menjunjung tinggi toleransi, dan berkomitmen pada persatuan. Sekolah, keluarga, dan lingkungan sosial harus menjadi laboratorium bagi
generasi muda untuk memahami dan mempraktikkan nilai-nilai kebhinekaan. Diskusi terbuka, kegiatan lintas budaya, dan program-program yang mendorong interaksi antar kelompok yang berbeda adalah cara efektif untuk menumbuhkan pemahaman dan empati.
Peran pemimpin agama dan tokoh masyarakat juga tak kalah penting. Mereka adalah panutan yang memiliki pengaruh besar dalam membentuk opini dan perilaku masyarakat. Pesan-pesan damai, ajakan untuk hidup berdampingan, dan penolakan terhadap segala bentuk kekerasan atas nama agama atau identitas harus terus digaungkan. Dialog antarumat beragama yang konstruktif perlu terus ditingkatkan, bukan hanya di level formal, tetapi juga di tingkat akar rumput, untuk membangun jembatan pemahaman dan persaudaraan.
Pada akhirnya, menjaga pluralisme dan kebhinekaan di Indonesia adalah tugas kolektif. Ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan setiap individu. Setiap warga negara adalah penjaga
nilai-nilai luhur bangsa. Ketika kita mampu menempatkan identitas kebangsaan di atas identitas-identitas sempit, ketika kita mampu melihat perbedaan sebagai kekuatan, dan ketika kita berani
membela persatuan di tengah badai perpecahan, saat itulah Indonesia akan benar-benar menjadi rumah yang nyaman bagi seluruh anak bangsanya. Pluralisme bukan pilihan, melainkan takdir. Kebhinekaan adalah realitas yang harus dirawat. Dan kewarganegaraan adalah kesadaran untuk menjadikannya kekuatan.
Penulis
Nama: Anugrah Jelang Ramadhan
STB: 5259
Prodi: Manajemen Pemasyarakatan B
Social Header