Mediamassa.co.id – Perusahaan barang konsumsi multinasional, Procter & Gamble (P&G), mengumumkan rencana pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap sekitar 7.000 karyawan secara global dalam dua tahun mendatang. Langkah ini diambil sebagai bagian dari strategi efisiensi biaya di tengah tekanan ekonomi global dan dampak tarif impor.
Direktur Keuangan P&G, Andre Schulten, menjelaskan bahwa PHK ini akan difokuskan pada posisi non-manufaktur, yang mencakup sekitar 15% dari total pegawai di divisi tersebut. Secara keseluruhan, P&G mempekerjakan lebih dari 108.000 orang di seluruh dunia per Juni 2024.
“Kami melakukan evaluasi menyeluruh terhadap struktur biaya kami untuk memastikan tetap kompetitif dan mampu bertahan dalam tekanan eksternal,” ujar Schulten dalam keterangan resminya.
P&G menghadapi beban biaya yang meningkat, terutama akibat tarif impor AS terhadap produk dari Tiongkok. Sebagian besar bahan baku dan kemasan P&G masih bergantung pada impor, sehingga lonjakan tarif turut membebani kinerja keuangan.
Tak hanya itu, kondisi daya beli konsumen yang melemah akibat inflasi turut berdampak pada permintaan produk, khususnya di pasar Amerika Serikat. P&G memperkirakan potensi kerugian mencapai US$600 juta (sebelum pajak) pada tahun fiskal 2026 jika kondisi ini terus berlanjut.
Untuk merespons situasi tersebut, P&G menyiapkan tiga strategi utama:
1. Restrukturisasi rantai pasok agar lebih efisien dan tidak terlalu bergantung pada impor dari Tiongkok.
2. Efisiensi operasional melalui optimalisasi tenaga kerja.
3. Penyesuaian harga produk, bila diperlukan, untuk menjaga margin keuntungan.
Langkah PHK massal ini menempatkan P&G sejajar dengan perusahaan besar lain seperti Microsoft dan Starbucks, yang juga telah melakukan pengurangan tenaga kerja sebagai respons terhadap ketidakpastian ekonomi global.
Meski demikian, P&G menegaskan bahwa kebijakan ini tidak akan memengaruhi target pertumbuhan jangka menengah dan upaya perusahaan dalam menjaga keberlanjutan bisnis di masa depan.
(Red)
Social Header