Mediamassa.co.id - Dalam demokrasi yang sehat, kehadiran para pembela Hak Asasi Manusia (HAM) semestinya dirayakan, bukan dicurigai. Mereka adalah suara nurani yang menjaga integritas hukum dan menjembatani keadilan bagi kelompok rentan dan terpinggirkan. Namun di Indonesia, menjadi pembela HAM sering kali identik dengan menjadi sasaran. Ancaman, kriminalisasi, bahkan kekerasan fisik, menjadi risiko nyata yang harus mereka hadapi. Ironisnya, hukum—yang seharusnya menjadi pelindung—justru seringkali menjadi alat represi.
Lebih ironis lagi, ketika negara justru bersikap ambigu—di satu sisi mengklaim sebagai negara demokrasi yang menjunjung tinggi HAM, tetapi di sisi lain membiarkan atau bahkan membenarkan berbagai bentuk represi terhadap para pembela keadilan. Banyak kasus menunjukkan bahwa pembela HAM tidak hanya menghadapi kriminalisasi dari aparat, tetapi juga intimidasi dari aktor non-negara seperti kelompok sipil bersenjata, buzzer digital, dan korporasi. Sayangnya, negara sering kali bersikap pasif, gagal memberikan perlindungan hukum maupun psikologis, seolah-olah menormalisasi kekerasan terhadap mereka yang bersuara.
Dalam konteks ini, pembela HAM bukan sekadar korban ketidakadilan, tetapi juga korban dari sistem hukum yang lemah, politis, dan sering kali berpihak pada kekuasaan. Mereka berdiri di garis depan, memperjuangkan hak masyarakat adat, korban pelanggaran lingkungan, hingga masyarakat miskin kota yang digusur atas nama pembangunan. Namun jerih payah itu dibalas dengan tuduhan subversif, pelaporan balik, bahkan pemenjaraan. Ketika hukum lebih banyak membungkam daripada melindungi, maka yang sedang dalam krisis bukan hanya hak asasi, tetapi jantung demokrasi itu sendiri.
Judul “Ketika Hukum Tak Melindungi yang Membela” bukan sekadar hiperbola atau retorika yang dibuat untuk menggugah emosi. Ia mencerminkan kenyataan pahit dalam sistem hukum kita—bahwa hukum sering kali gagal menjadi pelindung bagi mereka yang memperjuangkan keadilan. Pembela HAM, yang terdiri dari aktivis LSM, masyarakat adat, jurnalis investigatif, mahasiswa, hingga warga biasa yang menolak ketidakadilan di sekitarnya, sering kali dikriminalisasi. Mereka yang bersuara untuk korban penggusuran paksa, konflik agraria, kerusakan lingkungan, hingga kekerasan aparat, justru dijerat dengan pasal-pasal yang multitafsir—seperti Pasal 27 dan 28 UU ITE, Pasal Makar dalam KUHP, atau pasal penyebaran berita bohong.
Penggunaan pasal-pasal karet ini membuktikan bahwa hukum kerap dipelintir untuk membungkam suara kritis, bukan untuk menegakkan kebenaran. Dalam banyak kasus, pembela HAM dilaporkan atau ditangkap bukan karena melakukan tindak pidana yang nyata, tetapi karena keberanian mereka mengungkap kebenaran yang tidak nyaman bagi penguasa atau korporasi besar. Hal ini menjadikan hukum tampak berpihak: tajam ke bawah, tumpul ke atas. Para pelanggar HAM berskala besar dibiarkan bebas, sementara mereka yang membela korban justru diproses hukum dengan cepat.
Lebih jauh, ketidaknetralan hukum ini juga merupakan refleksi dari lemahnya komitmen politik negara terhadap perlindungan HAM. Tidak ada regulasi nasional yang secara khusus dan eksplisit menjamin perlindungan terhadap pembela HAM. Indonesia memang telah meratifikasi berbagai instrumen internasional, seperti Deklarasi Pembela HAM PBB (UN Declaration on Human Rights Defenders, 1998), namun hingga kini tidak ada UU atau Peraturan Presiden yang mengimplementasikannya secara konkret. Rancangan Perpres tentang Perlindungan Pembela HAM sudah lama dibahas oleh Komnas HAM bersama Kemenkumham, namun pembahasannya stagnan tanpa kejelasan. Ini menunjukkan bahwa perlindungan pembela HAM masih dianggap bukan sebagai prioritas negara.
Ketimpangan perlakuan hukum ini juga diperkuat oleh budaya politik yang tidak ramah terhadap kritik. Demokrasi Indonesia saat ini menunjukkan gejala regresif: pelemahan lembaga pengawas, penyempitan ruang sipil, dan meningkatnya represi digital. Aktivis kerap menjadi sasaran doxing, diserang akun anonim, bahkan dipantau pergerakannya secara ilegal. Dalam situasi seperti ini, hukum seharusnya hadir sebagai pelindung hak-hak sipil, namun yang terjadi justru sebaliknya—hukum menjadi perpanjangan tangan dari kekuasaan yang alergi terhadap pengawasan dan pertanggungjawaban publik.
Tidak netralnya hukum terhadap pembela HAM juga berdampak buruk terhadap kepercayaan publik. Ketika masyarakat melihat bahwa membela kebenaran berisiko lebih besar daripada melakukan kejahatan, maka yang rusak bukan hanya sistem hukum, tetapi moralitas publik secara keseluruhan. Ini adalah gejala dari negara yang sedang kehilangan kompas etiknya. Maka yang dipertaruhkan bukan hanya hak individu pembela HAM, tetapi fondasi dari demokrasi itu sendiri.
Laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) tahun 2023 mencatat 47 kasus ancaman terhadap pembela HAM di Indonesia. Para korban berasal dari berbagai latar belakang: aktivis lingkungan, pejuang agraria, jurnalis independen, hingga akademisi yang kritis terhadap kebijakan negara. Bentuk-bentuk ancaman itu mencakup teror digital, doxing, penggerebekan rumah, pembatasan akses informasi, hingga pelaporan balik (SLAPP - Strategic Lawsuit Against Public Participation) oleh korporasi dan pejabat publik. Fenomena ini menunjukkan bahwa ruang aman bagi mereka yang menyuarakan kebenaran semakin menyempit.
Kasus yang menjadi sorotan luas adalah kriminalisasi terhadap Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar. Keduanya dilaporkan oleh pejabat tinggi negara karena menyampaikan analisis kritis dalam sebuah diskusi publik tentang dugaan keterlibatan aparat keamanan dalam konsesi tambang di Papua. Ironisnya, pembahasan tersebut berbasis riset dari beberapa organisasi masyarakat sipil, bukan tuduhan liar. Proses pidana yang mereka jalani menjadi bukti terang bagaimana hukum digunakan sebagai instrumen balas dendam politik, bukan sebagai alat perlindungan warga negara. Bahkan, Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusannya telah menegaskan pentingnya perlindungan terhadap ekspresi akademik dan partisipasi publik dalam kontrol sosial.
Situasi serupa juga terjadi di sektor lingkungan. Menurut WALHI (2023), setidaknya 30 pembela lingkungan mengalami kriminalisasi atau kekerasan dalam kurun dua tahun terakhir, terutama di daerah-daerah kaya sumber daya alam. Di Wadas, Jawa Tengah, aparat kepolisian dikerahkan untuk mengamankan proyek tambang andesit yang ditolak oleh warga. Alih-alih membuka ruang dialog, negara menempatkan alat kekerasannya untuk membungkam protes. Warga yang membela tanah kelahirannya justru dituduh menghasut, sementara korporasi tambang dilindungi oleh negara. Pola ini juga tampak dalam konflik agraria di Rempang, Batam, di mana aparat bersenjata diturunkan menghadapi masyarakat adat Melayu demi melanggengkan proyek investasi strategis nasional.
Laporan dari Front Line Defenders (2022) bahkan menyebut Indonesia sebagai salah satu negara di Asia Tenggara yang “tingkat impunitasnya tinggi terhadap pelaku kekerasan terhadap pembela HAM.” Dalam laporan tersebut, disebutkan bahwa pengaduan pembela HAM kepada aparat penegak hukum sering kali tidak ditindaklanjuti, atau justru dibalik menjadi upaya kriminalisasi. Bahkan dalam beberapa kasus, pelaku kekerasan justru merupakan aparat negara atau aktor yang dilindungi secara politis.
Lebih menyedihkan lagi, hingga kini tidak ada satu pun payung hukum nasional yang secara eksplisit melindungi pembela HAM. Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Perlindungan Pembela HAM yang telah digodok oleh Komnas HAM sejak 2017 bersama Kemenkumham tak kunjung disahkan. Padahal, Perpres ini dapat menjadi kerangka awal yang memberikan jaminan hukum, prosedur perlindungan, dan mekanisme pelaporan cepat bagi pembela HAM yang terancam. Negara seolah menutup mata, seakan tidak ingin kehilangan kontrol terhadap siapa saja yang berani mengkritik kekuasaan.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah Indonesia benar-benar demokrasi konstitusional yang menjamin HAM, atau hanya demokrasi prosedural yang alergi pada kontrol rakyat? Ketika negara membiarkan pembela HAM dianiaya, dikriminalisasi, dan dipojokkan tanpa perlindungan, maka yang sedang terancam bukan hanya individu, tetapi prinsip-prinsip dasar negara hukum itu sendiri. Pembiaran ini merupakan bentuk impunitas struktural yang menghancurkan legitimasi moral dan hukum negara.
Jika pembela HAM terus dibiarkan dalam keadaan rentan, maka yang terjadi adalah efek gentar (chilling effect)—di mana masyarakat sipil akan memilih diam daripada bersuara. Demokrasi tanpa kontrol publik hanyalah topeng otoritarianisme. Sudah saatnya negara tidak hanya mengklaim komitmen terhadap HAM di forum internasional, tetapi membuktikannya dalam kebijakan konkret: mulai dari pengesahan Perpres Perlindungan Pembela HAM, reformasi pasal-pasal karet, hingga memastikan aparat penegak hukum tidak berpihak pada kekuasaan, tetapi kepada keadilan.
Penulis:
Agustinus Dicky Surya Eka Hernawan
Social Header