Mediamassa.co.id - Pemboikotan semua produk yang terkait dengan Israel muncul sebagai bentuk solidaritas yang merupakan bagian dari konflik yang sedang berlangsung antara Israel dan Palestina. Gerakan ini mungkin bukan hal baru, namun kini semakin terlihat dan masif, seiring meningkatnya kesadaran global, termasuk dari kalangan Gen-Z. Boikot tidak lagi sekadar tindakan simbolik, tetapi telah menjadi bagian dari gerakan kolektif untuk menolak pendudukan, kolonialisme, dan pelanggaran hak asasi manusia yang terus berlangsung di Palestina.
Gerakan boikot ini sejalan dengan prinsip Boycott, Divestment, and Sanctions (BDS), sebuah kampanye global yang bertujuan menekan Israel secara ekonomi dan politik agar menghentikan pendudukan wilayah Palestina dan menghormati hak-hak rakyat Palestina. Dalam beberapa tahun terakhir, suara dan pengaruh Gen-Z terbukti memainkan peran signifikan dalam memperkuat gerakan ini, terutama melalui media sosial.
Generasi Z, yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, tumbuh dalam era digital dan informasi instan. Mereka dikenal sebagai generasi yang kritis, peduli isu sosial, dan melek teknologi. Lewat platform seperti TikTok, Instagram, YouTube, dan X (Twitter), Gen-Z menyuarakan ketidakadilan yang terjadi di Gaza dan wilayah pendudukan Palestina lainnya. Konten-konten berupa video, infografik, hingga ajakan boikot tersebar luas dan mendapatkan dukungan dalam jumlah besar.
Paparan informasi yang masif ini menjadikan Gen-Z sebagai generasi paling teredukasi terhadap isu-isu kemanusiaan global, termasuk konflik Israel-Palestina. Mereka tak lagi bergantung pada media arus utama, melainkan menciptakan ruang diskusi dan narasi alternatif yang bersifat lebih organik dan partisipatif. Fenomena ini mencerminkan bahwa solidaritas kini tidak hanya diwujudkan melalui unjuk rasa di jalan, tetapi juga melalui algoritma dan klik.
Data dari berbagai survei menunjukkan bahwa antara 60 hingga 70% dari Gen-Z menganggap konflik Israel-Palestina sebagai isu penting yang perlu disikapi secara serius. Kesadaran terhadap kampanye boikot pun tinggi, dengan 75% hingga 85% responden mengaku telah mengetahui kampanye tersebut, baik melalui media sosial, diskusi daring, maupun komunitas. Namun, efektivitas boikot masih menjadi bahan perdebatan. Sekitar 30 hingga 40% percaya bahwa boikot mampu memberikan tekanan ekonomi dan moral yang signifikan terhadap perusahaan yang mendukung Israel. Sementara itu, sisanya menilai bahwa dampak boikot hanya akan terasa jika didukung dengan kebijakan pemerintah dan tekanan diplomatik internasional.
Meski begitu, partisipasi Gen-Z dalam gerakan boikot menandai perubahan paradigma dalam aktivisme. Tidak seperti generasi sebelumnya yang lebih banyak bergantung pada organisasi atau institusi, Gen-Z justru mengandalkan kekuatan jejaring sosial dan konten kreatif. Mereka membuat daftar produk yang harus diboikot, membagikan pengalaman pribadi, dan menyuarakan pentingnya empati lintas bangsa.
Lebih dari sekadar menolak produk tertentu, boikot kini menjadi cermin dari nilai-nilai yang diyakini anak muda: keadilan, kebebasan, dan solidaritas. Di balik pilihan konsumen yang tampak sederhana, tersimpan sikap politik yang tegas. Mereka tidak hanya membatasi konsumsi, tetapi juga mendorong penggunaan produk lokal, mempromosikan UMKM, dan memperkuat ekonomi alternatif sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi kapital global.
Beberapa perusahaan multinasional telah merasakan tekanan ini. Aksi tagar #Boycott di berbagai platform telah berdampak pada persepsi publik dan citra merek. Meskipun belum semua perusahaan merespons secara terbuka, tekanan dari konsumen muda tidak bisa diabaikan. Ini menunjukkan bahwa kekuatan suara kolektif, ketika terorganisir dengan baik, bisa mengganggu kenyamanan pihak-pihak yang sebelumnya merasa aman dari kritik publik.
Namun, di sisi lain, muncul pula tantangan. Kampanye boikot tidak jarang dibenturkan dengan sentimen rasisme atau antisemitisme, yang tentu tidak sejalan dengan nilai perjuangan hak asasi manusia. Oleh karena itu, edukasi yang berimbang dan pendekatan berbasis hak perlu terus digaungkan agar gerakan ini tidak disalahartikan. Gen-Z harus tetap kritis, tidak hanya terhadap kekuasaan, tetapi juga terhadap informasi yang mereka terima dan bagikan.
Pada akhirnya, gerakan boikot yang didorong oleh kesadaran Gen-Z adalah refleksi dari perubahan zaman. Ini bukan lagi soal ideologi semata, tetapi tentang bagaimana generasi muda menggunakan kekuatan teknologi, jaringan sosial, dan pilihan konsumsi untuk menciptakan dampak nyata. Mereka mengirimkan pesan bahwa dalam dunia yang saling terhubung, solidaritas bisa melintasi batas negara, agama, dan budaya.
Gen-Z sedang membentuk babak baru dalam sejarah perlawanan global—bukan dengan senjata, melainkan dengan informasi, kesadaran, dan keberanian untuk memilih berdiri di sisi yang benar. Dan selama ketidakadilan masih terjadi, suara mereka akan terus bergema.
Ditulis oleh:
Yuan Among Caraka, Verrel Daiva Ondine, Kevin Tito, Milpa Abdullah Endik, Rafif Dwiyanto.
Prodi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Social Header