Breaking News

Menyiapkan Pemimpin Muda Masa Depan Indonesia yang Berwawasan Kebangsaan


Mediamassa.co.id - Indonesia saat ini sedang berada pada masa transisi penting dalam sejarah demografinya. Generasi muda, khususnya Generasi Z, yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, telah mengambil posisi signifikan dalam struktur populasi nasional. Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2024, jumlah pemuda berusia 16-30 tahun di Indonesia mencapai 64,22 juta jiwa, atau sekitar seperlima dari total populasi nasional. Angka tersebut bukan hanya merepresentasikan jumlah yang besar, tetapi juga menggambarkan potensi luar biasa dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia ke depan.

Potensi besar ini pun menghadirkan tantangan tersendiri, terutama dalam aspek kebangsaan. Generasi Z tumbuh dalam era digital yang sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. Mereka merupakan generasi digital native pertama di Indonesia, yang sejak kecil sudah terbiasa dengan internet, media sosial, dan teknologi informasi. Situasi ini menyebabkan pola pikir, cara belajar, hingga cara mereka memahami nilai-nilai kebangsaan turut mengalami transformasi besar.

Wawasan kebangsaan merupakan cara pandang bangsa Indonesia terhadap diri dan lingkungannya, yang mengedepankan kesatuan wilayah dan menghargai perbedaan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Wawasan ini tidak lahir begitu saja, tetapi berakar dari nilai-nilai luhur bangsa yang dirumuskan dalam Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Sayangnya, sejumlah hasil riset dan survei menunjukkan bahwa pemahaman generasi muda terhadap wawasan kebangsaan mengalami penurunan. Hasil survei SETARA Institute pada tahun 2023 terhadap siswa SMA menunjukkan bahwa 83,3% responden menganggap Pancasila bukan sebagai ideologi permanen. Ini menjadi sinyal serius bahwa nilai-nilai dasar bangsa belum benar-benar meresap ke dalam sanubari generasi penerus bangsa.

Lebih jauh lagi, penelitian Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2018 mengungkap bahwa hanya 6,2% siswa yang mampu menjawab pertanyaan dengan benar terkait wawasan kebangsaan. Hal ini menunjukkan bahwa problematika bukan hanya terletak pada kurangnya informasi atau pengetahuan, melainkan menyentuh aspek pemaknaan dan penghayatan filosofi kebangsaan. Banyak generasi muda memahami Pancasila hanya sebagai teks normatif tanpa menggali esensi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Minimnya pemahaman ini bisa ditelusuri dari pola konsumsi informasi generasi muda. Hasil survei Litbang Kompas bersama Pusat Studi Kebangsaan Indonesia (PSKI) tahun 2022 menunjukkan bahwa hanya 28,6% siswa memahami Pancasila melalui pembelajaran di kelas, dan 21,7% mengaku mengetahuinya dari media sosial. Referensi yang lebih mendalam seperti buku, jurnal ilmiah, atau diskusi bersama pakar justru kurang diminati. Ketergantungan pada sumber informasi instan seperti mesin pencari atau aplikasi berbasis AI menjadi faktor dominan dalam penyusunan pemahaman mereka terhadap isu-isu kebangsaan.

Hal ini menunjukkan pentingnya pendekatan baru dalam menanamkan nilai-nilai kebangsaan, yang disesuaikan dengan karakter dan preferensi Generasi Z. Pendekatan satu arah yang mengedepankan indoktrinasi seperti era masa lalu sudah tidak lagi relevan. Generasi ini membutuhkan pendekatan yang partisipatif, kreatif, dan kontekstual dengan realitas digital yang mereka hadapi.

Data survei Katadata Insight Center (2023) menunjukkan bahwa ketika ditanya isu-isu paling penting yang perlu disuarakan oleh tokoh atau partai politik, hanya sedikit anak muda yang menyebut isu kebangsaan sebagai prioritas utama. Mayoritas, yakni 48,2%, lebih memprioritaskan isu lapangan pekerjaan. Disusul oleh isu kesehatan dan kesejahteraan rakyat sebesar 13,5%. Fenomena ini bukan berarti generasi muda tidak nasionalis, melainkan mereka memaknai nasionalisme secara fungsional dan pragmatis. Mereka cenderung mengaitkan rasa cinta tanah air dengan upaya nyata memperbaiki kualitas hidup masyarakat. Oleh sebab itu, wawasan kebangsaan perlu diposisikan ulang, bukan semata sebagai ideologi normatif, tetapi sebagai fondasi moral dalam menyikapi persoalan-persoalan konkret bangsa.

Untuk mengatasi tantangan ini, pendidikan menjadi pilar utama. Namun bukan sembarang pendidikan, melainkan pendidikan karakter yang dikemas secara kreatif dan relevan dengan zaman. Pembinaan Kesadaran Bela Negara (PKBN) yang diamanatkan oleh Presiden dalam peringatan Hari Bela Negara ke-76 pada 19 Desember 2024 menjadi langkah awal untuk merevitalisasi pembangunan karakter bangsa. Program ini perlu diterjemahkan ke dalam bentuk kurikulum kontekstual yang melibatkan pengalaman langsung, diskusi terbuka, dan interaksi sosial lintas kelompok.

Paling tidak terdapat tiga strategi yang dapat dilakukan untuk mengarusutamakan wawasan kebangsaan di kalangan Generasi Z. Pertama, penyebaran nilai-nilai nasionalisme melalui media sosial. Konten edukatif dan inspiratif yang menyentuh aspek kebangsaan harus dibuat dengan pendekatan storytelling yang menarik. Meme, video pendek, podcast, hingga microblogging dapat menjadi sarana menyampaikan pesan nasionalisme tanpa terkesan menggurui. 

Kemudian, partisipasi aktif dalam komunitas dan organisasi kepemudaan. Melalui keterlibatan dalam kegiatan sosial, generasi muda dapat mengalami langsung dinamika kebangsaan dalam skala mikro. Interaksi lintas suku, agama, dan latar belakang sosial akan memperkuat kesadaran kolektif atas pentingnya persatuan. Selanjutnya, penguatan pendidikan kebangsaan berbasis teknologi. Integrasi wawasan kebangsaan ke dalam aplikasi digital, game edukatif, dan platform interaktif seperti metaverse menjadi cara baru untuk menjangkau Generasi Z. Survei PSKI dan Litbang Kompas pada tahun 2023 menegaskan bahwa metode lama seperti indoktrinasi P4 sudah tidak relevan. Generasi muda menginginkan metode yang dialogis dan partisipatif.

Di tengah derasnya arus informasi digital, peningkatan literasi digital menjadi kebutuhan mendesak. Generasi muda harus dibekali kemampuan untuk menyaring informasi yang benar, mengenali hoaks, serta mengidentifikasi konten yang mengandung radikalisme atau disinformasi ideologis. Tanpa kemampuan ini, mereka akan mudah terjebak dalam narasi-narasi yang merusak fondasi kebangsaan. 

Selain itu, penguatan identitas lokal juga menjadi bagian dari strategi membumikan wawasan kebangsaan. Generasi Z perlu diajak untuk mencintai dan melestarikan seni, budaya, dan tradisi daerah masing-masing. Identitas lokal yang kuat justru akan memperkuat semangat nasionalisme karena mereka merasa menjadi bagian dari Indonesia secara otentik dan tidak dipaksakan.

Ya, Generasi Z merupakan generasi kunci dalam mewujudkan visi Indonesia Emas 2045. Mereka bukan hanya penerus bangsa, tetapi juga penggerak utama perubahan sosial, politik, dan ekonomi. Namun, agar potensi mereka bisa dimaksimalkan, maka wawasan kebangsaan harus ditanamkan sejak dini dalam bentuk yang adaptif dan kontekstual.

Wawasan kebangsaan bukan konsep yang usang. Ia adalah fondasi dinamis yang terus diperbarui sesuai konteks zaman. Dengan pendekatan pendidikan yang kreatif, dukungan literasi digital, penguatan identitas lokal, dan sinergi lintas generasi, generasi muda Indonesia dapat menjadi benteng persatuan bangsa. Sudah saatnya kita semua, pendidik, pemerintah, orang tua, hingga tokoh masyarakat, bersinergi membangun bangsa melalui generasi muda. Karena masa depan Indonesia bukan sekadar harapan, melainkan tanggung jawab bersama yang dimulai dari wawasan kebangsaan yang kuat.


Penulis:

Aquino Dhamar Arya Pamungkas

Program Studi:

Manajemen Pemasyarakatan A

Jurusan Ilmu Pemasyarakatan

Politeknik Pengayoman Indonesia



© Copyright 2022 - mediamassa.co.id