Breaking News

Menimbang Kembali Arti Kewarganegaraan di Era Mobilitas Global


Mediamassa.co.id - Di tengah arus globalisasi yang semakin masif, dunia kini menjadi ruang yang jauh lebih terbuka dan saling terhubung. Mobilitas manusia lintas negara meningkat tajam baik karena alasan ekonomi, pendidikan, pekerjaan, hingga perlindungan dari konflik atau penganiayaan. Dalam konteks ini, batas-batas negara secara fisik mungkin tetap ada, tetapi batas identitas dan keterikatan antarwarga dunia mulai menjadi lebih cair. Namun, di balik semua itu, konsep kewarganegaraan yang seharusnya menjadi pengikat antara individu dan negara masih beroperasi dalam kerangka yang kaku dan terikat oleh batas-batas nasional yang konvensional. Maka timbul pertanyaan besar: apakah konsep kewarganegaraan yang kita pahami selama ini masih relevan dengan dinamika global yang semakin kompleks?

Kewarganegaraan sejatinya bukan hanya sekadar status administratif. Ia adalah konstruksi sosial, politik, dan hukum yang membawa serta hak dan kewajiban tertentu terhadap negara dan sebaliknya. Dalam konteks Indonesia, perdebatan seputar kewarganegaraan kerap kali muncul dalam berbagai bentuk: dari problematika anak hasil perkawinan campuran yang harus memilih antara dua identitas negara, anak-anak tanpa kewarganegaraan (stateless) yang hidup dalam ketidakpastian hukum, hingga isu-isu kontroversial seperti pencabutan kewarganegaraan terhadap WNI yang diduga terlibat dalam jaringan terorisme internasional. Semua ini menegaskan bahwa kewarganegaraan tidak sesederhana memiliki dokumen resmi, melainkan berkaitan erat dengan identitas, rasa memiliki, dan pengakuan dari negara.

Indonesia hingga saat ini masih menganut sistem kewarganegaraan tunggal. Prinsip ini secara historis dirancang untuk menjaga integritas dan loyalitas warga terhadap negara. Namun, realitas hari ini menunjukkan bahwa pendekatan ini mulai terasa usang di tengah pertumbuhan komunitas diaspora Indonesia yang tersebar di berbagai belahan dunia. Anak-anak hasil perkawinan campuran yang tumbuh besar dengan dua latar budaya seringkali mengalami dilema identitas karena dipaksa untuk memilih satu kewarganegaraan sebelum usia tertentu. Banyak dari mereka yang kehilangan status WNI hanya karena tidak mampu mengambil keputusan dalam batas waktu yang ditentukan, padahal keterikatan emosional, budaya, dan bahkan sosial-ekonomi mereka terhadap Indonesia masih sangat kuat.

Situasi ini seharusnya menjadi bahan refleksi bagi para pengambil kebijakan. Revisi terhadap Undang-Undang Kewarganegaraan bukan lagi sekadar kebutuhan administratif, melainkan tuntutan zaman. Banyak negara, termasuk beberapa di kawasan ASEAN seperti Filipina dan Vietnam, telah lebih dulu mengadopsi model kewarganegaraan ganda terbatas sebagai bentuk adaptasi terhadap fenomena diaspora. Mereka menyadari bahwa keterikatan warga negara tidak bisa dibatasi hanya oleh paspor, tetapi juga oleh perasaan memiliki dan kontribusi nyata terhadap tanah air. Indonesia seharusnya tidak tertinggal dalam hal ini. Dengan menerapkan sistem kewarganegaraan ganda terbatas, negara bisa tetap menjaga integritas nasional tanpa mengabaikan realitas sosial dan budaya warga negaranya di luar negeri.

Lebih jauh lagi, negara harus mengambil peran aktif dalam melindungi hak-hak warga negara yang berada dalam situasi rentan. Anak-anak stateless, mereka yang lahir di wilayah sengketa atau dari orang tua yang tidak diakui status kewarganegaraannya, adalah kelompok-kelompok yang sangat membutuhkan perlindungan hukum. Dalam hal ini, pendekatan berbasis hak asasi manusia (HAM) dan prinsip perlindungan konstitusional menjadi krusial. Negara harus menunjukkan keberpihakan terhadap individu, bukan hanya berdasarkan status legal-formal, tetapi juga berdasarkan prinsip keadilan sosial dan martabat kemanusiaan.

Kita juga perlu memikirkan kembali cara negara memaknai loyalitas dan nasionalisme. Di era digital dan mobilitas global, seseorang bisa saja tinggal di luar negeri namun tetap berkontribusi besar bagi bangsa melalui diplomasi budaya, transfer pengetahuan, investasi, atau bahkan sekadar menjadi representasi positif bangsa di kancah global. Oleh karena itu, menyederhanakan nasionalisme hanya sebatas status kewarganegaraan adalah pendekatan yang terlalu sempit.

Kewarganegaraan modern harus bisa menjadi jembatan antara negara dan warganya yang tersebar di mana pun mereka berada. Negara yang adaptif adalah negara yang mampu merangkul, bukan mengucilkan. Dalam konteks inilah, reformasi hukum kewarganegaraan menjadi sangat penting. Jangan sampai keterlambatan negara dalam merevisi regulasi membuat kita kehilangan potensi sumber daya manusia yang luar biasa  mereka yang memiliki kecintaan terhadap Indonesia, namun terpaksa melepaskan status hukum karena keterbatasan sistem.

Sebagai penutup, sudah saatnya kita menggeser paradigma kewarganegaraan dari yang bersifat eksklusif menuju inklusif; dari yang kaku menjadi fleksibel; dari sekadar status administratif menjadi simbol hubungan emosional dan komitmen timbal balik antara negara dan warganya. Kewarganegaraan tidak boleh menjadi alat eksklusi, tetapi harus menjadi jembatan pengakuan dan partisipasi aktif dalam membangun bangsa di mana pun warganya berada.


Penulis

Nama : Royhan Ja’far Jauhari

Kelas : Manajemen Pemasyarkataan B

Stb : 5298 


© Copyright 2022 - mediamassa.co.id