Mediamassa.co.id - Peristiwa kerusuhan yang terjadi di Lapas Narkotika Kelas IIA Muara Beliti, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan, pada 8 Mei 2025, menjadi alarm keras bagi semua pihak yang selama ini memandang sistem pemasyarakatan hanya sebatas tempat menjalani hukuman. Perusakan fasilitas, pembangkangan terbuka terhadap petugas, serta penguasaan sejumlah titik oleh narapidana, bukan hanya mencerminkan ketidakpuasan sesaat, tetapi juga menandakan adanya tumpukan masalah yang selama ini dibiarkan tanpa penyelesaian yang tuntas dan menyentuh akar persoalan.
Kerusuhan ini dipicu oleh razia ponsel yang dilakukan oleh petugas lapas, yang menemukan puluhan unit telepon genggam tersembunyi di Blok Bangau. Keberadaan ponsel tentu merupakan pelanggaran, tetapi pada saat yang sama juga menyingkap lemahnya sistem pengawasan internal. Apalagi bila dikaitkan dengan potensi keterlibatan oknum dalam proses masuknya barang-barang tersebut. Ketika razia berlanjut ke blok lain dan terjadi penolakan, kekacauan pun tak terhindarkan. Sekitar pukul 09.00 WIB, para narapidana mulai melawan, dan situasi baru bisa dikendalikan dua jam kemudian setelah pasukan gabungan dari Polri dan TNI diturunkan.
Yang patut menjadi perhatian bukan hanya soal bagaimana kerusuhan ini dimulai, tetapi lebih penting lagi adalah mengapa hal semacam ini bisa terjadi dan berulang. Kita tentu masih ingat bahwa berbagai kerusuhan di lembaga pemasyarakatan kerap kali dipicu oleh isu serupa: perlakuan tidak adil, fasilitas yang tidak memadai, pengaruh kelompok tertentu di dalam lapas, hingga ketimpangan dalam perlakuan antar narapidana. Semua ini menunjukkan bahwa sistem pemasyarakatan kita sedang mengalami tekanan berat, baik secara struktural maupun fungsional.
Sebagai bangsa yang mendasarkan kehidupan bernegaranya pada Pancasila, situasi ini seharusnya menjadi refleksi mendalam. Sila kedua, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”,seharusnya menjadi landasan dalam memperlakukan setiap warga binaan. Mereka memang sedang menjalani hukuman, tetapi hak untuk dibina secara manusiawi tetap melekat pada mereka. Begitu pula dengan sila kelima, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” yang semestinya mendorong kita untuk meniadakan ketimpangan akses terhadap hak dan perlakuan, bahkan di dalam sistem pemasyarakatan sekalipun.
Langkah cepat yang diambil pasca-kerusuhan yakni pemindahan 65 narapidana ke Lapas Nusakambangan patut diapresiasi sebagai bentuk pengamanan jangka pendek. Namun, langkah ini tidak bisa menjadi solusi utama. Kita butuh perombakan besar-besaran dalam sistem pemasyarakatan, mulai dari kebijakan pemidanaan yang lebih bijak, penguatan kapasitas petugas, pembenahan sistem pengawasan internal, hingga penerapan pendekatan rehabilitatif dan edukatif yang berbasis nilai-nilai Pancasila.
Tanpa perubahan yang menyeluruh dan berkelanjutan, kerusuhan serupa sangat mungkin kembali terjadi. Dan ketika itu terjadi, bukan hanya nama lembaga yang tercoreng, tetapi kepercayaan masyarakat terhadap sistem keadilan itu sendiri yang akan runtuh.
Penulis:
Social Header