Breaking News

Antara Kepentingan Kekuasaan dan Rakyat: Penolakan Terhadap Pemimpin Purna Militer


Mediamassa.co.id - Pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang mewakili kepentingan seluruh rakyat, bukan hanya segelintir golongan. Namun, akhir-akhir ini, muncul keprihatinan dari masyarakat terkait dengan tren semakin dominannya pengaruh anggota purna TNI/Polisi dalam struktur pemerintahan. Penolakan terhadap pemimpin yang berasal dari jajaran purna TNI/Polisi menjadi salah satu isu yang cukup hangat diperbincangkan. Fenomena ini menyoroti sebuah ironi: ilusi pemerintahan yang katanya mengutamakan kepentingan rakyat, namun kenyataannya malah sering kali menjadi ajang pembiaran yang menambah ketimpangan sosial.

Ilusi Pemerintahan dan Realita Pembiaran

Di permukaan, pengangkatan purna TNI/Polisi ke dalam posisi-posisi penting pemerintahan sering kali disorot sebagai langkah positif dalam menjaga stabilitas dan keamanan negara. Mereka dianggap memiliki disiplin yang tinggi dan wawasan yang luas terkait dengan urusan negara. Namun, realita yang dihadapi oleh masyarakat sering kali berbicara sebaliknya. Masyarakat merasa bahwa pemerintahan yang dipimpin oleh jajaran purna TNI/Polisi cenderung lebih mengutamakan kepentingan kekuasaan dan loyalitas ketimbang kesejahteraan rakyat.

Banyak masyarakat yang merasa bahwa kebijakan yang diambil lebih cenderung menguntungkan elit politik tertentu dan tidak berpihak pada rakyat kecil. Ini tercermin dalam lambannya penanganan isu-isu sosial seperti kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan pembangunan yang semakin jelas terlihat. Kebijakan yang terkesan top-down, tidak mendengarkan aspirasi rakyat, dan jauh dari partisipasi aktif masyarakat, membuat banyak pihak merasa pemerintahan ini justru menambah ketidakadilan sosial.

Studi Referensi Akademik: Bukti Menggugat

Dalam studi akademik, sejumlah penelitian telah menggambarkan bagaimana pemerintahan yang didominasi oleh mantan aparat militer dan kepolisian dapat memunculkan masalah dalam pengambilan kebijakan. Penelitian yang dilakukan oleh Soedjatmoko (2002) dalam buku "Peran Militer dalam Demokrasi" mengungkapkan bahwa dominasi militer dalam pemerintahan cenderung menghasilkan kebijakan yang represif, serta kurang memperhatikan aspek hak asasi manusia dan pembangunan sosial. Hal ini berkaitan dengan budaya militer yang lebih mengutamakan hierarki dan perintah ketimbang dialog dan konsensus dalam pengambilan keputusan.

Selain itu, riset yang dilakukan oleh Anton A. van Wijk (2018) dalam "Military Politics and Democratization" menunjukkan bahwa negara-negara yang dipimpin oleh para mantan aparat militer cenderung mengalami stagnasi dalam hal demokrasi dan pembangunan sosial. Banyak di antara mereka yang terjebak dalam pola pikir “keamanan negara” yang lebih mengutamakan kontrol daripada membuka ruang partisipasi bagi masyarakat.

Bukti Bercerita: Di Depan Mata Hingga di Seberang Lautan

Di Indonesia, situasi ini tidak hanya menjadi persoalan di tingkat nasional. Misalnya, dalam kasus pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang kerap kali didominasi oleh figur-figur purna TNI/Polisi, masyarakat sering kali merasa tidak ada pilihan yang lebih mewakili aspirasi mereka. Salah satu contoh adalah pemilihan kepala daerah yang menghasilkan para mantan jenderal yang kurang mengenal kebutuhan dan dinamika masyarakat lokal, tetapi lebih fokus pada kebijakan yang bersifat normatif dan prosedural.

Di luar negeri, fenomena serupa juga terjadi. Negara-negara yang mengadopsi sistem pemerintahan dengan dominasi mantan aparat militer atau polisi sering kali menunjukkan kurangnya inovasi dalam hal kebijakan ekonomi dan sosial. Sebagai contoh, negara-negara seperti Myanmar dan Thailand yang mengalami kudeta militer, menunjukkan bagaimana ketegangan politik dan ketidakstabilan sosial meningkat di tengah dominasi kekuatan militer dalam pemerintahan.

Saatnya Berbenah, Bukan Beretorika

Dengan melihat realita ini, sudah saatnya Indonesia melakukan perubahan struktural dalam pemerintahan. Kita memerlukan pemimpin yang tidak hanya berasal dari jajaran militer atau kepolisian, tetapi juga memiliki latar belakang dalam bidang sosial, ekonomi, pendidikan, dan berbagai disiplin lainnya. Demokrasi yang sehat mengharuskan kita untuk menciptakan ruang yang lebih terbuka bagi partisipasi rakyat dan memperjuangkan kebijakan yang benar-benar berpihak pada kepentingan masyarakat luas.

Pemimpin yang baik bukan hanya mereka yang memiliki kapasitas untuk mengendalikan situasi, tetapi juga mereka yang mampu memahami kebutuhan rakyat dan memberikan solusi atas permasalahan sosial yang ada. Demokrasi tidak akan berjalan dengan baik jika hanya mengedepankan retorika semata. Di sini, penolakan terhadap dominasi purna TNI/Polisi dalam pemerintahan harus dilihat sebagai sebuah langkah untuk memperkuat sistem demokrasi yang lebih inklusif dan berkeadilan.

DAFTAR PUSTAKA

Soedjatmoko. (2002). Peran Militer dalam Demokrasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Van Wijk, Anton A. (2018). Military Politics and Democratization: A Global Perspective. London: Routledge.

Teti, Andrea. (2015). The Military and Political Power: Governance in Southeast Asia. Oxford: Oxford University Press.

Oleh: 

Shofah Aprilia Riyanto

Taruna Tingkat II

Politeknik Pengayoman Indonesia Jurusan Ilmu Pemasyarakatan

0 Komentar

© Copyright 2025 - mediamassa.co.id
🔮 Zodiak Mingguan (1 – 7 September 2025)
Memuat ramalan zodiak...