Mediamassa.co.id - Dalam lanskap pelayanan kesehatan modern, tenaga medis diposisikan sebagai penjaga keselamatan dan kesehatan masyarakat. Mereka dipercaya bukan hanya karena kompetensinya, melainkan juga karena sumpah profesi dan kode etik yang mengikat peran mereka sebagai pelayan kemanusiaan. Namun, belakangan ini, masyarakat Indonesia dikejutkan oleh fenomena yang mencederai tatanan etika profesi itu sendiri: pelecehan seksual oleh oknum tenaga medis.
Salah satu kasus yang mencuat dan menyulut perhatian publik terjadi di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung pada Maret 2025. Seorang dokter spesialis diduga melakukan pelecehan seksual terhadap keluarga pasien dengan terlebih dahulu menyuntikkan obat bius. Pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka dan dicabut izin praktiknya. Meski sanksi administratif telah dijatuhkan, luka kepercayaan yang timbul tidak semudah itu sembuh.
Kasus ini menjadi titik balik yang memperlihatkan adanya ketimpangan kuasa dalam relasi antara tenaga medis dan pasien. Ketika otoritas profesional disalahgunakan, ruang perawatan yang seharusnya menjadi tempat paling aman berubah menjadi ruang traumatis, terutama bagi korban dan kelompok rentan seperti perempuan muda.
Menyigi Realitas Sosial: Surabaya dalam Sorotan
Kami melakukan survei terhadap 46 responden di Surabaya, kota metropolitan yang dikenal memiliki fasilitas kesehatan yang maju. Hasilnya mencerminkan keresahan publik secara luas. Sebanyak 97,8% responden menganggap pelecehan seksual oleh tenaga medis sebagai isu serius dan mencerminkan kegagalan sistem pengawasan. Yang menarik, 85,1% responden pertama kali mengetahui kasus ini melalui media sosial, memperlihatkan kekuatan media sebagai ruang kontrol sosial yang efektif.
Meski kasus terjadi di Bandung, dampaknya terasa sampai ke Surabaya. Sebanyak 97,8% responden mengaku bahwa kepercayaan mereka terhadap profesi medis turut terpengaruh. Bahkan, 48,9% di antaranya menyatakan tidak lagi sepenuhnya percaya bahwa tenaga medis akan selalu bertindak profesional. Ini adalah sinyal krisis kepercayaan yang tidak boleh diabaikan.
Dampak Psikologis dan Kultural
Survei juga menunjukkan bahwa mayoritas responden adalah perempuan muda berusia 18–25 tahun, kelompok usia yang aktif mencari layanan kesehatan, terutama terkait kesehatan reproduksi dan mental. Kekhawatiran akan menjadi korban pelecehan membuat mereka enggan untuk memeriksakan diri, yang pada akhirnya bisa berdampak buruk terhadap kondisi kesehatan jangka panjang. Ketakutan ini bukan hanya soal keamanan fisik, tapi juga menyangkut hak untuk mendapat perlakuan bermartabat dalam sistem layanan kesehatan.
Refleksi dan Jalan Menuju Perubahan
Fenomena ini menuntut perubahan sistemik. Tidak cukup hanya dengan sanksi administratif atau hukum pidana. Diperlukan pembenahan struktural yang melibatkan pendidikan, kebijakan, dan perubahan budaya organisasi di dunia kesehatan.
Pertama, pengawasan internal di rumah sakit dan klinik harus diperkuat. Harus ada sistem pelaporan yang aman dan terpercaya bagi pasien untuk menyampaikan keluhan. Kedua, lembaga pendidikan tenaga medis perlu mengintegrasikan kurikulum yang menekankan etika, sensitivitas gender, dan komunikasi empatik. Ketiga, masyarakat juga perlu diberdayakan dengan pengetahuan tentang hak-haknya sebagai pasien, serta prosedur pelaporan jika mengalami tindakan tidak etis.
Media sosial dan media massa pun memiliki peran ganda: menyuarakan kasus sebagai bentuk kontrol sosial sekaligus menjaga agar informasi tidak menjadi alat penghakiman sepihak. Kepekaan dan kehati-hatian dalam menyampaikan berita sangat diperlukan agar tidak memperburuk trauma korban atau merusak proses hukum.
Menuju Ruang Sehat yang Berkeadilan
Kasus di RSHS Bandung adalah cermin retak dari sistem kesehatan kita. Ia memperlihatkan bagaimana satu tindakan amoral dapat menimbulkan resonansi negatif yang luas, mengikis kepercayaan, dan menyuburkan ketakutan. Namun di balik krisis ini, ada peluang untuk perbaikan menyeluruh. Jika kita berani bertindak tegas dan sistemik, bukan tidak mungkin sistem kesehatan kita menjadi lebih etis, lebih manusiawi, dan lebih berpihak pada keselamatan serta martabat pasien.
Sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Albert Schweitzer, seorang filsuf dan dokter: “Only those who respect life, and act accordingly, are truly ethical.” Kini saatnya dunia medis di Indonesia menegakkan kembali etika bukan sebagai teori, tetapi sebagai napas dalam setiap tindakan.
Oleh:
I Gusti Agung Bintang Diah A. M ( 1152300167 ),
Alika Putri Madya Aru ( 1152300180 ),
Aulia Febriana ( 1152300232 ),
Mustika Dewy Anggraeny( 1152300263 ),
Inggrid Dwi Angly ( 1152300282 )
Dosen :
Beta Puspitaning Ayodya,S.Sos.,M.A
Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Social Header